Belum genap satu bulan saya dan keluarga tinggal disebuah rumah yang saya kontrak didaerah bekasi utara. Alhamdulillah rumah ini terasa nyaman dengan sirkulasi udara dan cahaya yang cukup. Tiga minggu tinggal disini, Allah telah memberikan sebuah pelajaran berharga bagi saya.
Subuh tadi ketika hendak berangkat berjama’ah ke masjid, tepat di depan rumahku duduk seorang security/hansip yang sedang tugas jaga. Ia duduk seorang diri diatas bangku yang kebetulan memang ada didepan rumahku sambil menghisap sebatang rokok dalam-dalam. Posisinya menghadap tepat kearah pintu rumahku. Saya belum menyadari keberadaanya ketika membuka pintu rumah dan menguncinya kembali untuk saya tinggalkan. Namun ketika saya membuka pintu gerbang, sedikit kaget saya melihatnya. Kemudian kulemparkan senyum kearahnya, namun Pak Hansip ini cuek saja, bahkan wajahnya terlihat masam (sedikit kecewa saya atas sikapnya). Kemudian kulanjutkan langkahku menuju masjid. Karena penasaran sebelum meninggalkan rumah saya coba menyapa Pak Hasip yang belum saya kenal ini “mari pak” basa-basi memang, tapi saya berharap dengan sapaan ini ia akan memberikan sedikit senyuman kepada saya. Ternyata lagi-lagi saya harus kecewa ia hanya menjawab dengan singkat “ya”, masih dengan muka masamnya.
Sebelumnya hari minggu yang lalu hal yang serupa juga saya alami. Saat itu saya sedang menyapu dan mencabuti rumput dihalaman hingga ke sisi jalanan di depan rumah. Jalanan depan rumah saya ada dua jalur dan dibatasi oleh pemisah jalan yang diatasnya ditanami berbagai pepohonan diantaranya pohon palem. Saya mencabuti rumput-rumput yang ada dibawah pembatas tersebut dan rumput-rumput itu saya taruh di pinggiran pohon palem yang saat itu memang sudah banyak rumput liar disekitarnya. Sedangkan sampah lain saya kumpulkan dan saya buang ditempat sampah saya. Namun tiba-tiba seorang bapak datang kearahku dan tanpa menyapa apapun langsung memungut rumput-rumput tadi dan melemparnya ketumpukan sampahku sambil berteriak “Ini jangan dibuang disini mas, capek-capek saya ngerapiin dari ujung sana”. Saya segera meminta ma’af: “oohh, ma’af pak saya tidak tau, nanti saya rapihkan”. Kemudian ia berlalu begitu saja.
Dua kejadian tadi meninggalkan beberapa pertanyaan dalam hati saya. “Mengapa mereka bersikap demikian?” “Beratkah untuk membalas senyuman? Tidak adakah cara lain yang lebih santun untuk menyapa/menegur? Atau mereka menganggap karena saya orang baru disini?" Padahal dengan iktikad baik sejak kepindahan keluarga saya kesini, saya segera lapor ke ketua RT. Bahkan ketika pak RT menyampaikan bahwa untuk keluarga yang mengontrak, iuran bulanan (sampah dan keamanan) harus dibayar 6 bulan sekaligus sayapun menyetujuinya, karena ini sudah menjadi aturan disini. Dan sebagai pendatang saya harus mengikuti aturan yang ada.
Tentunya bukanlah semata karena saya orang baru disini, tapi mungkin saat itu Allah belum memberikan kelembutan hati kepada kedua Bapak tadi. Saya pun tak berfikir macam-macam terhadap keduanya. Bahkan dalam kasus yang kedua, sore harinya ketika bertemu Bapak itu saya langsung memberikan senyuman, dan Alhamdulillah Bapak itupun tersenyum. Dan besok pagi jika saya bertemu Pak Hansip itu saya pun akan tersenyum lagi, tak perduli Pak Hansip itu membalasnya atau tidak. Bukankah senyum itupun bagian dari ibadah bahkan termasuk sedekah.
Dalam sebuah hadits dikatakan: “Janganlah kalian menganggap remeh kebaikan itu, walaupun itu hanya bermuka cerah (senyum) pada orang lain,” (HR. Muslim) dan juga saya teringat sebuah Hadits "Tabassumu fi akhika shadaqoh" yang artinya senyum untuk saudaramu adalah Sedekah. Jadi, saya akan tetap tersenyum.
Jangan Berat Tuk Tersenyum
Diposting oleh KAPMI Daerah Jakarta Selatan | 22.37 | artikel, Jangan Berat Tuk Tersenyum | 0 komentar »
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar
Posting Komentar