Jeritan Hati Seorang Akhwat Biasa

Diposting oleh KAPMI Daerah Jakarta Selatan | 02.15 | , | 0 komentar »


Gerimis ini mengiringi tangisan seorang wanita cantik, wanita yang tegar hatinya, wanita yang selalu bersahaja, wanita yang selalu menundukkan pandangannya, wanita yang sempurna dimataku. Tapi Allah Maha dari segala Maha, dia hanya wanita biasa yang bisa sakit hatinya, yang bisa mengeluarkan air mata ketika bersedih. Suci, begitulah nama wanita yang sedang kupandang ini. Air matanya tak bisa diajak berkompromi lagi, tak tertahan selalu mengalir, terisak dan terasa sesak. Aku dan Suci sudah seperti adik dan kakak, sejak lulus SMA diPadang aku hijrah untuk kuliah disalah satu Universitas Negeri di Jakarta, ayah mencarikanku tempat Kost yang tepat, yaitu dirumah Uni. Sejak saat itulah kami begitu akrab dan melekat sampai sekarang.

“Uni sudah ngga tahan lagi La!”
Sudah sembilan kali wanita yang kupanggil Uni mengeluarkan kalimat itu. Aku sebagai gadis yang belum berpengalaman dan masih labil jiwannya hanya bisa menguatkan dirinya tanpa bisa memberi solusi.

“Uni, Allah itu Maha Penyayang, tidak akan Allah memberikan Uni ujian sebesar ini kalau Uni tak kuat, Dibalik semua ini ada hikmahnya Uni. Mungkin saja Allah ingin menguji kecintaan Uni terhadap-Nya”

Air matanya semakin deras saja mengalir, tak tertahan dan tak bisa terbendung lagi. Ya Allah, kuatkanlah aku untuk bisa menguatkannya. Tiba-tiba Uni memelukku dengan sangat erat. Isak tangisnya berhenti, nafas panjang dikeluarkannya, aturan nafasnya mulai tertaur, bibirnya berkemit memulai bertasbih, kubiarkan bahu ini menjadi sandarannya dan menjadi wadah air matanya.

Aku jadi teringat dua tahun yang lalu, ketika Uni menikah dengan seorang pria bernama Fahri, dengan wajah berpoleskan sederhana Uni terlihat cantik dan sangat anggun, wajahnya yang jelita membuat semua orang terpaku melihatnya termasuk aku,
“Subhanallah, cantik sekali Uni. Aku bak melihat bidadari yang Allah turunkan tiba-tiba dari langit” Candaku saat itu. Uni hanya tersenyum tersipu malu, wajahnya pun sampai merah merona. Pria bernama Fahri itupun terpesona melihatnya, lalu tunduk kembali menjaga pandangannya. Setelah pernikahan itu berlalu, Uni pun diboyong ke Solo dari Jakarta, satu tahun kemudian Uni pulang dalam rangka ‘Ied. Saat kami bertemu kembali dan bercakap-cakap, wajahnya begitu berseri dan bahagia.

“La…”
Mulutnya mulai terbuka memulai pembicaraan.
“Bang Fahri begitu mencintai Uni, Uni begitu beruntung mendapatkan suami seperti dia”
“Subhanallah!”
“Bang Fahri akan setia sampai kapanpun walau apapun yang terjadi sama kami”
. Setelah itu Uni pulang lagi bersama suami tercintanya

Kalimat itu masih terngiang sampai sekarang, masih melekat dan terekam bagus didalam otakku. Namun sampai saat ini Allah belum memberikan seorang buah hati dalam pernikahhannya. Sehingga satu bulan yang lalu Bang Fahri memutuskan untuk berpoligami. Terasa di tusuk sembilu hati ini ketika mendengar kabar itu. Awalnya Uni menolak, tapi dengan dalih yang disertai dalil Uni tak bisa mengelak lagi, Uni mencoba Ikhlas dan lebih mencintai Dia dari pada dia. Bang Fahri menikahi seorang gadis yang usianya satu tahun lebih muda dari Uni wanita itu bernama Khomsa. Cantik dan menarik memang parasnya, Subhanallah, Maha Sempurna Allah yang menciptakan hambaNya dengan sempurna. Bang Fahri janji pada Uni kalau akan bersikap adil. Karena itu Uni dan mba Khomsa disatukan dalam satu atap. Padahal setahuku Rasul tidak mencontohkan itu, ya walaupun tak ada larangannya.

Satu bulan berjalan, rumah itu bagai nereka bagi Uni, Uni tak kuat lagi ketika suaminya harus bergilir berganti kamar, Uni tak sanggup lagi ketika pakaian kerja suaminya disiapkan oleh wanita lain, sarapan yang biasanya ia masak sendiri dan sekarang disediakan oleh wanita lain. Walau dengan hari bergilir Uni tetap saja tak kuat. Akupun akan merasakan hal yang sama jika aku berada diposisinya. Astagfirullah……! Kenapa bang Fahri setega itu, ketika Uni mencoba mengkomunikasikan permasalahn hatinya pada bang Fahri, bang Fahri malah menyuruh Uni untuk mencontoh Khomsa. Sakitnya hati Uni sakit juga hatiku. Sampai akhirnya kesedihan Uni membawanya bertemuku diLaut sunda ini secara rahasia Dihadapan Uni aku coba untuk tegar, sehingga mata ini mampu membendung berjuta juta tetesan air mata. Dan Ibu tak pernah tahu akan hal ini. Begitulah hidup, tak ada yang bisa menebak. Kadang menjadi cahaya yang terang benderang dan kadang menjadi kegelapan yang menakutkan. Hm….akupun sama, hanya wanita biasa.

Senja sudah tiba……

Kerudung* dan Jilbab** ini sudah basah disinggahi gerimis yang sedari tadi tak kunjung berhenti. Uni membuka kedua matanya, dihapusnya air mata yang sedari tadi mengalir, menghela nafas, dan bangkit dari bahuku.

“Aila, percayalah! Allah tidak pernah tidur, Allah selalu memberikan yang terbaik, berupa senang atau sedih. Semua itu adalah ujian. Tapi Aila, ketahuilah, aku hanya wanita biasa, wajar jika aku seperti ini. Terima kasih sudah meminjamkan waktu dan bahumu serta memberikan kasih sayangmu padaku. Tolong sampaikan kepada ibu, 3 hari lagi aku akan pulang”

Entah, kekuatan apa yang mendorong Uni tegar kembali. Kami bangkit dan berpelukkan lagi lalu berpisah. Aku bergegas pulang.

Hari-haripun berlalu, dan ini hari ketiga dimana aku bertemu Uni terakhir kalinya. Pesan Uni untuk ibu sudah kusampaikan, Ibu dan aku menunggu Uni dipelataran rumah. Pelataran yang menjadi saksi pertemuanku dengan Uni empat tahun lalu, saat aku masih sangat remaja dan berpakaian ala kadarnya. Polos, tidak berkerudung juga tidak berjilbab, tapi setelah aku mengenal Uni, akupun mengenal siapa aku, dari mana, mau apa, dan akan kembali kemana. Semua pertanyaan itu sudah terjawab dalam Islam. Dan Uni lah yang menghantarkan ku pada-Nya.

Sebuah Taksi berhenti didepan pelataran rumah Uni yang menjadi Kost-an ku selama 55 bulan ini. Seorang wanita anggun turun dari taksi itu, wanita itu adalah Uni. Dengan wajah berseri dan semakin cantik Uni pulang.

“Subhanallah….Alhamdulillah, kurasa permasalahannya sudah selesai” ujar hatiku
“Assalamu’alaikum bu, La”
“Wa’alaikumsalam”
“Lho, Fahri ngga ikut Ci? “ Tanya Ibu, hatiku gemetar.
“Fahri ya diSolo bu, dia kan harus kerja. Kalau ngga kerja istrinya makan apa donk bu?” dengan wajah tenang dan canda Uni menjawab pertanyaan ibu. Aku semakin bingung dibuatnya. Ibu dan aku menyambut Uni secara suka cita, kami senang sekali Uni pulang kerumah. Semua mengalir seperti air, ibu bahagia, begitu pun aku. Walau didalam isi kepala ku ini tersimpan berjuta tanya.

Barat, Timur, Selatan, dan Utara. Cerita-cerita memecahkan waktu-waktu yang biasanya sunyi sepi, hanya ada Ibu, aku dan beberapa anak kost yang mempunyai kegiatan padat masing-masingnya. Apalagi setelah bapak wafat, semakin kesepian saja Ibu. Makan malam yang hangatpun sudah berlalu. Bahkan Uni sempat meledek kapan aku akan memenuhi separuh Dien ini. Ah…Uni, Skripsi aku saja masih dalam hayalan apalagi memiliki suami.

“Bu, La, aku pamit tidur ya. Rasanya tulang-tulang ini mau rontok. Hehehe”
“Ya sudah, selamat istirhat ya na’ “ kecupan Ibu yang melayang didahi Unipun melayang didahiku. Ibu sudah kuanggap sebagai ibuku sendiri.

Malampun gelisah, hatikupun gundah. Ada apakah dengan Uni ? sudah selesaikah masalah diantara mereka? mengapa bang Fahri tiduk turut serta bersama Uni? Sedang apa bang Fahri ssehingga membiarkan Uni pulang sendiri ?........ Ah…..lebih baik aku tidur saja agar nanti bisa bangun sholat malam.
“Tok…Tok….”
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku, kutengok jam yang menggantung dihiasan lampu kamarku, rasanya baru lima menit aku memejamkan mata. Ternyata sudah jam dua. Segera ku membuka pintu kamarku.

“Uni?”
“Iyalah, masa Hantu! Hehehe, segera ambil wudhu sana. Setelah tahajud kekamar Ibu yah!”
“ada apa Uni?”
“datang sajalah!”
“OK!”
Sholat dan berdo’a khusyu kuhantarkan malam ini untuk-Nya, Allah yang Maha dari segala Maha. Segera kubergegas kekamar Ibu.
“Assalamu’alaikum…Tok…Tok…”
“Wa’alaikumsalam, masuk La!”
Jawab Uni dari balik pintu kamar Ibu.
“Sini La, duduk sini!”
Ibu menyuruhku lembut untuk duduk disisinya.
“ada apa bu? “ Tanyaku penasaran.
“Ga tau nih Suci, ada apa nak?”
Senyum lembut, itulah yang dimulai oleh Uni.
“Ibu, aku sangat menyayangi Ibu. Ibu bagaikan debaran jantungku. Dan Aila akupun menyayangi kamu sebagai adikku. Apapun yang akan kalian dengar ini adalah sebuah jalan yang sudah aku tempuh!”
Air mata Uni mulai turun satu persatu.
“ada apa na’? “ dengan bijaksana Ibu bertanya “Kabar apapun yang akan Suci beritahukan kepada Ibu, Ibu akan tetap tegar dan bersama Suci”

“Bu, setelah dua tahun aku berumah tangga dengan Fahri, aku merasa sangat bahagia, aku merasa menjadi wanita yang paling sempurna didunia ini, memiliki Ibu dan Bapak yang begitu menyayangiku dan menemukan Fahri suami yang sangat aku cintai serta Aila yang sudah menjadi adikku”
Sesaat hening… Ibu melebarkan bibirnya. Memeluk Uni. Subhanallah…Ibu sangat Bijaksana.

“Bu, aku bercerai dengan Fahri!”
Aku kaget bak disambar petir. Tapi Ibu??? Dia masih tersenyum dengan lembutnya.
“Memangnya kenapa nak ?” Sikap Ibu masih Bijaksana dan sangat lembut. Sumpah, aku tak pernah bertemu dengan wanita-wanita setegar ini.

“fahri menikah lagi dengan seorang wanita yang lebih sempurna dari aku, wanita yang bisa memberikan Fahri keturunan. Wanita yang lebih baik dariku. Awalnya aku bisa menerima, tapi sebatu-batunya hati manusia dia juga akan bisa pecah bu. Aku tidak kuat lagi untuk bertahan dengan keadaan ini. Jadi kuputuskan untuk berpisah”

Isak dan raungan tangisan Uni pun mulai terdengar. Dan aku hanya bisa terdiam.
“Apa kamu sudah memikirkan ini matang-matang nak? Bukan perasaan emosi semata?”
“Aku sudah beberepa kali memikirkan ini bahkan ribuan kali bu, sepanjang malam akupun beristikharah dan jawabannya adalah diterimanya aku menjadi mahasiswi diJepang. Setelah itu aku kuat untuk meninggalkan Fahri dan membiarkan dia bersama Khomsa”

Allahu Akbar, entah rasa apa yang ada pada saat ini. Aku hanya bisa bertasbih padaMu ya Allah. Maha Sempurna Engkau yang menciptakan Langit dan Bumi. Maka Fasiklah orang-orang yang tidak mau menjalankan dan memperjuangkan Hukum-hukum Mu.

Setelah malam itu, nterlihat tak ada beban diwajah Uni. Dia sibuk menyiapkan diri untuk mengejar cita-citanya menjadi ahli Sains diJepang.

“Berapa lama Ni disana?” tanyaku saat membantu mengepak barang-barangnya
“Hanya dua tahun, jangan nakal yah kamu! Kalau Nikah harus kabari aku. Hehehe”
“Ah, Uni! Aku belum kefikiran ke arah sana. Dan rasanya aku Trauma terhadap laki-laki”
“Eh, pria itu berbeda-beda La. Nasib pun berbeda-beda. Jangan pernah takut untuk menjalankan hidup ini. Jangan pernah menyerah dengan keadaan. Jika hanya dengan hal semacam ini saja kita mundur apalagi menhadapi musuh-musuh Allah pembuat makar?”
“Tapi itukan berbeda, ini masalah HATI!”

“semua masalah itu punya solusi, yaitu ISLAM. Tak ada jalan lain! Ya kan?” Uni tertawa kecil.

8 tahun kemudian…..

Uni sudah mendapatkan cita-citanya menjadi seorang Ahli Sains, dia menjadi dosen dari beberapa Universitas Negeri. Ibu pun wafat setahun setelah Uni pulng dari Jepang. Uni berkeluarga lagi setelah empat tahun bercerai dari bang Fahri. Dan kini ia memiliki buah hati yang begitu tampan bernama Akbar. Sedangkan aku, sudah beranjak 32 tahun umurku ini. Tapi Allah belum mendatangkan kekasih hatiu. Entahlah, Allah sedang menguji kesabaranku. Pria datang silih berganti, tak satupun yang berhasil mengisi kehidupan abadiku. Ada yang tak cocok dengan umurku, ada yang orang tuanya tak setuju denganku, ada ada sajalah. Tapi Subhanallah, Maha suci Allah yang Maha berkehendak. Kun Fa Ya Kun.

“Insya Allah kamu bisa, dia wanita yang berbeda. Dia lebih sempurna dariku!”

Dengan berpakain pengantin berwaran putih anggun, sekarang aku berdiri. Penantian ini telah usai. Allah menjodohkanku dengan seorang pria beristri. Dan kini aku menjadi istri kedua dari seorang Pria yang Allah pilih. Sekarang aku berada diposisi Khomsa. Apakah kalian mendengar jeritan hati seorang wanita biasa ???!!!

* kerudung (QS. An- Nur : 31)
** Jilbab (QS.Al Ahzab 59)

0 komentar

Posting Komentar